21 April 2009

Entry point : dari diri pribadi

Kita tentu sudah mengenal sebuah cerita tentang seorang pemuda yang masih bebas dan imajinasinya mengembara tanpa batas yang bercita-cita untuk mengubah dunia. Tatkala ia menjadi semakin tua dan bijaksana ia menyadari bahwa dunia tak akan bisa berubah. Oleh karena itu ia memendekkan sasarannya dan memutuskan untuk mengubah negerinya saja. Namun cita-cita inipun kandas di tengah jalan. Manakala ia makin jauh mengarungi masa tuanya maka ia bertekad untuk mengubah keluarganya , mereka yang mempunyai hubungan terdekat dengannya. Lagi-lagi tekadnya itu tak membuahkan hasil. Keluarganyapun tak bisa dirubahnya. Akhirnya, ketika ia terbaring di ranjang menunggu kematiannya, ia lalu menyadari bahwa seandainya dulu ia mengubah dirinya sendiri melalui teladan-teladan, barangkali ia akan bisa mengubah keluarganya. Selanjutnya dari inspirasi dan dorongan serta dukungan mereka barangkali ia bisa merubah negerinya dan siapa tahu ia mungkin bahkan mampu merubah dunia.

Disiplin Nasional juga tidak bisa tumbuh sendiri. Disiplin Nasional lahir dari disiplin pribadi, disiplin kelompok, disiplin golongan dan disiplin masyarakat. Semuanya itu harus ditumbuhkan, dipelihara dan ditegakkan secara lurus oleh kita sendiri. Pelaku Gerakan Disiplin Nasional adalah masyarakat sendiri sedangkan aparat pemerintah hanya membantu kemudahannya saja. Disiplin pribadi harus menjadi sikap batin, kebiasaan dan kebutuhan hidup masyarakat itu sendiri. Kondisi ini hanya akan bisa dicapai apabila masyarakat merasakan manfaatnya.

Dalam kasus banjir di Jakarta misalnya, banyak pakar dan pengamat yang mengatakan bahwa diantara penyebab bencana alam itu adalah budaya membuang sampah secara sembarangan ke selokan dan sungai, penebangan hutan secara liar dan pendirian rumah-rumah liar di bantaran sungai. Bebeberapa saat setelah banjir usai masyarakat dengan tertib membuanh sampah ditempat yang disediakan. Namun itu hanya bertahanan beberapa bulan saja. Kini kita lihat disungai tampak bertebaran lagi sampah-sampah yang siap menyongsong banjir di musim hujan nanti. Begitu berulang-ulang setiap tahun. Disiplin membuang sampah hanya bersifat musiman.
Kasus serupa juga terjadi di kawasan Monas. Pada pagi hari kita bisa melihat onggokan dan sebaran sampah di berbagai tempat yang merupakan pekerjaan masyarakat pada malam hari sebelumnya.

Padahal tempat sampah telah disiapkan, namun masyarakat enggan melakukannya.
Mereka barangkali berpendapat bahwa petugas kebersihanlah yang bertanggung jawab untuk membereskan sampah-sampah yang mereka tinggalkan karena memang para petugas digaji untuk itu. Papan bertuliskan “ Buanglah sampah pada tempatnya !!” seolah hanya hiasan tanpa makna dan tak mampu menyentuh kesadaran masyarakat.
Dalam kasus lain, misalnya kemacetan lalu lintas, para pengguna jalan kurang kesabarannya untuk antri. Mereka lebih senang berjalan berkelok-kelok untuk mencari celah. Bahkan sering terjadi ruas jalan yang hanya terdiri dari dua atau tiga jalur dijejali oleh empat kendaraan. Akibatnya kendaraan yang datang dari arah berlawanan terhenti dan kemacetan semakin menjadi-jadi.
Jika kita ungkap satu persatu perilaku individu yang tidak disiplin maka akan menjadi sebuah deretan panjang karena terjadi hampir disemua lini kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar